Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu ? bagian 1

الحمدُ للهِ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على رسولِ اللهِ أما بعد:

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa Ba'du.

Seruan kepada taqriib (pendekatan) antara agama Syi'ah Imamiyyah Itsna 'Asyariyah dengan selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyyah dan Ibadiyyah yang gencar di kumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah.
Dan shohibul fadhilah, penulis besar Islam Sayyid Muhibbuddin Al Khathiib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi'ah guna mencari sarana taqriib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqriib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan para penggagas agama Syi'ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk terjadinya taqriib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi'ah di atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari'at Nabi صلی الله عليه وسلم dan yang diserukan oleh para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.
Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu ? bagian 1

Karena berbagai nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku utama sekte Imamiyyah Itsna 'Asyariyah, dengan disertai nomor halaman, serta penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.


Jeddah, 14 Rajab 1380 H
Muhammad Nashif         

Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi'ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya

Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.

Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi "pendekatan" tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab "Syi'ah Al Imamiyyah Al Itsna 'Asyariyah". Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.

Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.

Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi'ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi'ah. Negara dengan paham Syi'ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan "Lembaga Pendekatan" di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal 'Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi'ah1.

Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi'ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama' kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu 'anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama' Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak. Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada "Seruan Pendekatan" lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah kepada seruan semacam ini.

Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan -bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu 'anhu. Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi'ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.

Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.

Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi'ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi'ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi'ah.

Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.

Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu' sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi'ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi'ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu', dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu' sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.

1 Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da'i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi'ah menjadi negeri Syi'ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da'i Syi'ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul "Al Hawi Lil Fatawi", cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da'i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul "Miftahul Jannah Fil I'itisham Bissunnah."       




Permasalahan Taqiyyah

Penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At Taqiyyah2. Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah) akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran "Taqiyyah" dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi'ah seluruhnya; pemuka mereka dan masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang telah memerankan peranan mereka.

Di antaranya hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya:

"At Taqiyyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah." (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2 hal: 219).

Syaikh ahli hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I'tiqadaat:

"Bertaqiyyah wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan sholat." Ia juga berkata: "Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama Allah Ta'ala, dan dari agama Al Imamiyyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan para Imam." (Baca risalah Al I'tiqadaat, pasal At Taqiyyah, terbitan Iran tahun: 1374 H).

Celaan Terhadap Al Quran

Sampai pun Al Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu 'anhum dari Nabi صلی الله عليه وسلم , dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.

Bahkan salah seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al Murtadhowi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama kota Najef ini pada tahun 1292 H di saat ia berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya- menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: "Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab." (Makna judul buku ini: "Keterangan Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja" -pent). Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi'ah di sepanjang masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan dikurangi.

Buku karya At Thobarsy ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289 H, dan kala itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al Quran hanya diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar di beratus-ratus kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain yang ia beri judul: Raddu Ba'dhis Syubhaat 'An Fashlil Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini: Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan Kepada kitab "Keterangan Tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja". -pent). Ia menuliskan pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.

Sungguh kaum Syi'ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal yang dijadikan bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi'ah disebut dengan nama "Surat Al Wilayah", pada surat ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:


يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم …إلخ

"Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst." 3


Demikianlah surat Syi'ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat non Arab, hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah "Al Quran" yang dimiliki kaum Syi'ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al Quran milik kita –Ahlusunnah wal Jama'ah- adalah Al Quran dengan bahasa Arab yang nyata tidak ada kesalahan, sarat dengan rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka buta.


Dan seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su'udy -beliau adalah kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Baduh- berhasil menemukan "Mushaf Iran" yang masih dalam bentuk manuskrip yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At Thobarsy dalam bukunya: "Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab."

Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul "Dabistan Mazahib" dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya "Tarikh Al Mashohif" (Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal: 431-439.

Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari kitab "Al Kafi" (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami' Al Kafi, karya Abu Ja'far Ya'qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan "Shohih Bukhori" menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:

"Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan عليه السلام -maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan: "Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian."

Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi'ah atas nama imam mereka Ali Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi'ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi'ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم ).


Teks Lengkap Surat Al Wilayah

Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf Iran, dan pada setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:


يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم # نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك وعلي من الشاهدين#

"Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi."

  Al Quran yang mereka yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar Syi'ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di selewengkan, mustahil mereka menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadits, Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid'ah atau orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nury At Thobarsy untuk menuliskan bukunya yang berjudul: "Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab." 4


Apapun perihalnya, bukan hanya An Nury At Thobarsy pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama') seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan, didapatkan ada imam-imam (Syi'ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya menyatakan hal yang sama, misalnya Al Kulainy, penulis buku Al Kafi dan Ar Raudhah, Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam buku Rijalun Najasy pada hal: 183: "Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya", dan juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam Rijalun Najasy hal: 284: "Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang", dan ia juga dipuji oleh sayyid Muhsin Al Amin dalam bukunya "A'ayanus Syi'ah" jilid 1/237, dan juga Al Kasyy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy.


Seandainya seluruh tokoh terkemuka kaum Syi'ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid'ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan?

Walaupun kaum Syi'ah berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At Thobarsy dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, akan tetapi buku tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama' mereka yang terdapat pada buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al Quran.

Dengan demikian, ada dua Al Quran: yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang, dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara isinya ialah surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang mereka rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha: "Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian!!"

Di antara ayat yang menurut kaum Syi'ah telah dihapuskan dari Al Quran ialah ayat:


وجعلنا عليا صهرك

"Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu."

  Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat أَلَمْ نَشْرَحْ Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini! Padahal mereka mengetahui bahwa surat أَلَمْ نَشْرَحْ adalah surat Makkiyyah (Surat Makkiyyah ialah surat yang diturunkan semasa Nabi صلی الله عليه وسلم masih berada di kota Makkah dan sebelum berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau صلی الله عليه وسلم kala itu ialah Al 'Ash bin Al Rabi' Al Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم dari atas mimbar masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu 'anhu berencana menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu 'anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Tholib kepada ayahnya yaitu Rasulullah صلی الله عليه وسلم . (Pujian Nabi صلی الله عليه وسلم kepada menantunya Al 'Ash bin Al Rabi' Al Umawi ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim. -pent)

Dan bila sahabat Ali adalah menantu Nabi صلی الله عليه وسلم karena menikahi salah seorang putri Beliau صلی الله عليه وسلم, maka Allah ta'ala telah menjadikan sahabat Utsman bin Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda kepadanya ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:


لو كانت لنا ثالثة لزوجناكها

"Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya." (Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usudul Ghobah 1/749 & 1458 -pent).

  Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Tholib At Thobarsy -salah seorang syaikh Ibnu Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: "Al Ihtijaj 'Ala Ahli Al Lijaaj" menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: "Adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Allah ta'ala:


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

"Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu suka." (QS. An Nisa: 3)

  Tidak ada kaitan antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik5 telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?

Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu 'anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.

Dan tatkala pertama kali buku "Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab" terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi'ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam -sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang berjudul: "Ahsanul Wadi'ah", yang merupakan penyempurna buku: "Raudhatul Jinan."

Ada dua teks yang jelas dalam buku yang sederajat dengan Shohih Bukhori menurut mereka, yaitu buku "Al Kafi" karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi thn 1278 H di Iran, yaitu, "Dari Jabir Al Ju'fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Ja'far عليه السلام berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi Tholib dan para imam setelahnya." Setiap orang Syi'ah yang membaca kitab "Al Kafi" ini -yang kedudukannya bagaikan Shohih Bukhori menurut Ahlusunnah- pasti mengimani teks ini.

Adapun kita Ahlusunnah, maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi'ah telah berdusta atas nama Al Baqir Abu Ja'far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu 'anhu sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah ta'ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu 'anhu, hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu 'anhu memiliki mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!

Sedangkan Jabir Al Ju'fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja'far Muhammad Al Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding 'Atha', dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Ju'fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn 1372 H).

Dan teks yang lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja'far yang terdapat pada buku "Al Kafi" ini, ialah teks dari anak beliau Ja'far As Shodiq rahimahullah ta'ala dan yang juga dimuat dalam Shohih Bukhori mereka "Al Kafi" hal: 57, edisi 1278 H Iran:

"Dari Abi Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja'far As Shodiq)……hingga Abu Abdillah berkata: "Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fatimah 'alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya: Apa itu Mushaf Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al Quran kalian."
Teks-teks orang-orang Syi'ah yang dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya'qub Al Kulaini Ar Razi dalam bukunya "Al Kafi" lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut ada jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham Syi'ah.

Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi'ah telah menetapkan bahwa Al Quran juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi'ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi'ah tidak termasuk kaum muslimin. Silahkan baca "Al Fishol Fi Al Milal wa An Nihal" karya Ibnu Hazm, jilid 2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.

Satu fakta berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham Syi'ah Al Imamiyyah Al Itsna 'Asyariyyah yang dikenal juga dengan Al Ja'fariyyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah islam sejak wafatnya Nabi صلی الله عليه وسلم hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu- merupakan pemerintahan yang tidak syar'i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang berpaham Syi'ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka! Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi'ah dan ideologi mereka hanya ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan, semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para kholifah setelahnya hingga saat ini, apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan hingga hari Kiamat!

2 At Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: "At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat." (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja'fary, India). 3 Kelanjutan surat ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut: "Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi."
4 Salah seorang ulama' terkemuka Syi'ah Agha Buzurk At Thohrany, penulis ensiklopedia Syi'ah yang telah masyhur "Az Dzari'ah Ila Tashonif As Syi'ah" menuturkan dalam bukunya: "Thobaqaat A'alaam As Syi'ah", bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: "Nuqaba' Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi' 'Asyar", pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nury At Thobarsy: "Ia adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama') pada generasi terakhir, dan termasuk ulama' terkemuka Syi'ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini."
5 Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thobarsy dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya "Al Ihtijaaj 'Ala Ahli Al Lijaj" atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu 'anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At Thobarsy penulis buku "Al Ihtijaaj 'Ala Ahli Al Lijaj" dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.         


berlanjut ke artikel bagian 2

Share on Google Plus

Tentang K

Penulis hanyalah seorang manusia biasa, sekarang sedang sibuk mengejar para dosen demi mendapatkan gelar sarjana. jika ada pertanyaan silahkan kirimkan email ke : rimporok@gmail.com atau hubungi (+62)852 4015 0005